Filsafat? Pengingat.
Refleksi Perkuliahan Prof. Dr. Marsigit, MA.
Ada begitu
banyak definisi tentang filsafat dalam pikiran saya, namun seakan bibir tercekat
tak mampu mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata. Semakin dipikir maka semakin rumitlah, semakin
tak mampu mengungkapkannya. Dengan adanya refleksi ini, mengingatkan saya
kepada apa yang telah Prof. Marsigit katakan, bahwa “Sehebat
– hebat kalimatku/
perkataan tidak bisa mengejar pikiran. Sehebat – hebat tulisan tidak bisa mengejar
ucapan. Sehebat –
hebat
tindakan tidak melaksanakan semua tulisan. Kita tidak bisa mengejar segalanya dengan
penuh”. Dan benar bahwa kata-kata tak mampu mengejar pikiran, namun dalam kasus
ini saya berada pada posisi tak mampu mengungkapkan yang ada dalam pikiran. Apakah
kasus tersebut termasuk kedalam ranah apa yang Prof. Marsigit katakan? Atau hal
itu merupakan tanda bahwa saya terancam kematian? Prof. Marsigit juga pernah
mengatakan “Filsafat adalah penjelasanmu. Semakin banyakpun belum cukup, tidak
ada orang yang betul-betul menjelaskan. Yang benar adalah hanya berusaha,
semakin banyak semakin baik. Semakin sedikit, semakin anda mendekati kematian”.
Dan nampaknya saya sedang mendekati kematian itu.
Bagi saya, belajar
filsafat bersama Prof. Marsigit adalah sarana pengingat diri. Pengingat bahwa
diri ini adalah seorang hamba. Pengingat bahwa diri ini adalah makhluk social. Pengingat
bahwa kodratnya manusia adalah cenderung berpotensi melakukan kesalahan. Kesalahan
bahwa diri ini cenderung melupakan hakikatnya yang sebenarnya, yaitu sebagai
hamba dan sebagai makhluk social.
Sebagai hamba,
kesalahan terbesar adalah peng-aku an. Seringkali saya merasa bahwa diri ini adalah
milikku, hidup ini adalah hidupku, akibat ini adalah penyebab dariku, dan
perasaan aku-aku yang lain. Perasaan peng-aku an tersebut yang ternyata
menuntun saya pada kesalahan terbesar lain yaitu kesombongan. Sombong,
melupakan bahwa diri ini adalah hamba yang dipunyai penciptanya. Sombong, melupakan bahwa setiap yang terjadi
berasal dari penyebab utama, penyebab absolut, yaitu Allah SWT. Mengapa diri ini senantiasa lupa? Lupa bahwa
penyebab utama berada disini adalah karena Allah, lupa bahwa penyebab bisa berkuliah
disini adalah karena kemurahan hati dan kasih sayang Allah yang mengabulkan setiap repalan doa
orang tua dirumah yang amat mencintai saya, lupa bahwa penyebab segala
kemudahan dan pertolongan adalah karena kuasa dan kasih sayang Allah. Betapa sombongnya
saya yang melupakan semua itu.
Belajar filsafat
mengajarkan saya untuk lebih memaksimalkan ikhlas dalam setiap pikiran dan perbuatan.
Contohnya: ikhlas dalam belajar, ikhlas dalam menjalani proses belajar, dan ikhlas
dalam menjalani proses belajar ikhlas. Karena tak ada manusia yang benar-benar
ikhlas, yang ada hanya berusaha untuk ikhlas. Dan kodratnya manusia adalah agar
senantiasa berusaha, berusaha terus dan terus hingga Allah menganggap kita
pantas menerima hasil dari usaha tersebut. Dengan ikhlas setidaknya mungkin
mampu meminimalisir kesombongan diri. Ikhlas dalam menerima cobaan dan
kebahagiaan. Mampu ikhlas dalam menerima cobaan berarti telah mampu menyadari
bahwa diri ini adalah hamba yang mempunyai pemilik yang pasti menjadi penyebab
terulurnya bantuan disetiap cobaan. Dan mampu ikhlas dalam menerima kebahagiaan
berarti mampu mengingat bahwa sumber atau
penyebab dari setiap kemudahan dan kebahagiaan adalah karena Allah SWT. Jika ikhlas
senantiasa berusaha ditanamkan dalam diri, mungkin kesombongan diri dan
melupakan hakikatnya sebagai hamba akan teratasi. Namun tetap, dengan bantuan
Allah tentunya.
Sebagai mahkluk social,
kesalahan terbesar saya juga sama yaitu lupa. Lupa bahwa orang lain juga sama
seperti saya. Memang tidak ada yang sama didunia ini, bahkan dengan diri
sendiri pun diriku yang sekarang tidak sama dengan diriku yang tadi dan diriku
nanti (kata Prof. Marsigit). Namun, sama yang dimaksud adalah sama dalam hal
perlakuan. Seperti kata pepatah: berperilakulah seperti apa kamu ingin
diperlakukan. Dan saya sering melupakan hal itu, melupakan bahwa hal-hal kecil
yang saya lakukan tanpa memikirkan akibatnya adalah berpotensi mendzholimi
orang lain. Dan saya teringat akan kejadian dikelas, saat itu saya sedang batuk
dan saya tidak mengenakan masker. Prof. Marsigit meminta saya untuk menggunakan
masker. Awalnya saya tak mengerti mengapa Prof. Marsigit meminta saya untuk
melakukan hal tersebut, dan penjelasan beliau mengingatkan saya bahwa tindakan
tersebut sama saja saya tidak menghormati orang lain. Sederhana memang, namun
dampaknya tak sesederhana itu. Saya menyebarkan virus kepada orang lain yang
berarti bahwa saya tidak menghormati kesehatan orang lain. Jika saya sendiri
tak mampu menghormati orang lain, lalu apakah tidak sombong namanya jika saya tetap
ingin dihormati juga oleh orang lain. Terimakasih Prof. sungguh pelajaran yang
amat berharga.
Berfilsafat adalah
berpikir. Memikirkan metafisik dibalik fisik yang senantiasa terlupakan. Oleh karenanya
mengapa saya menyebut filsafat sebagai pengingat, karena berfilsafat mengingatkan
saya untuk melihat dunia tidak secara parsial, mengingatkan saya untuk melihat
metafisik dibalik fisik, melihat hikmah disetiap cobaan, dan mengingat Sang
penyebab dari setiap kebahagiaan dan kemudahan. Menterjemahkan dan
diterjemahkan. Menterjemahkan dan memikirkan setiap apapun itu dan bersedia
menerima saat diterjemahkan orang lain. Walaupun nyatanya melakukan tak semudah
dan sesederhana menuliskannya, kuncinya adalah : Jalani pikiran anda, wujudkanlah pikiran anda dalam bentuk
tindakan dan pikirkanlah tindakan
anda kemudian doakan pikiran anda
dan doakan tindakan anda.
Sekian. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar