FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
FILSAFAT PENDIDIKAN
MATEMATIKA
Oleh
Eka Puspita Sari &
Marsigit
A. KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MATEMATIKA
Karakteristik adalah kualitas tertentu atau ciri yang
khas dari seseorang atau sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
karakteristik berarti mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik adalah sebuah ciri khas pembeda antara
yang satu dengan lainnya. Dengan memiliki karakteristik, sesuatu dapat
didefinisikan dan dibedakan berdasarkan apa yang ada dalam dirinya yang
sebenarnya.
Karakteristik pendidikan matematika berarti ciri khas
dari pendidikan matematika. Berbicara mengenai pendidikan matematika, tentu
saja tidak dapat dilepaskan dari matematika itu sendiri. Demikian pula pada
saat berbicara mengenai karakteristik pendidikan matematika, juga tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik matematika. Perbedaan karakteristik matematika
dan pendidikan matematika menurut Soedjadi (2007) adalah sebagai berikut.
No
|
Karakteristik Matematika
|
Karakteristik Pendidikan Matematika
|
1
|
Memiliki objek
kajian yang abstrak (hanya ada di dalam pikiran)
|
Memiliki objek
kajian yang konkret dan
juga
abstrak
|
2
|
Bertumpu pada
kesepakatan (lebih
bertumpu pada
aksioma formal)
|
Bertumpu pada
kesepakatan (termasuk
penekanan pada
aksioma selfevident truth)
|
3
|
Berpola pikir
deduktif Berpola pikir
|
Berpola pikir deduktif
dan juga induktif
|
4
|
Konsisten
dalam sistemnya
|
Konsisten
dalam sistemnya (termasuk
sistem yang
dipilih untuk pendidikan)
|
5
|
Memiliki/menggunakan
simbol yang
kosong dari
arti
|
Memiliki/menggunakan
simbol yang
kosong dari
arti dan juga yang telah
mempunyai arti
tertentu
|
6
|
Memperhatikan
semesta pembicaraan
|
Memperhatikan
semesta pembicaraan
(bahkan juga
digunakan untuk pembatasan
bahan ajar
matematika, sesuai kelas
tertentu)
|
Dari
tabel tersebut bahwa perbedaan antara karakteristik matematika dan pendidikan
matematika terletak pada objek kajiannya, jika objek kajian dari matematika
hanyalah yang abstrak sedangkan objek kajian pendidikan matematika adalah
abstrak dan kongkrit. Objek kajian pendidikan matematika abstrak dan kongkrit
disesuaikan dengan tingkatan pendidikan, pada matematika sekolah objek
kajiannya adalah kongkrit sedangkan pada matematika perguruan tinggi objek
kajiannya berubah menjadi lebih abstrak. Dari segi tumpuan kesepakatan juga
memiliki perbedaan, jika matematika bertumpu pada aksioma
formal, pendidikan matematika bertumpu pada penekanan pada aksioma selfevident
truth. Dari segi pola pikir antara matematika dengan pendidikan matematika
juga berbeda, jika matematika berpola pikir induktif, pendidikan matematika
lebih berpola berpikir deduktif serta induktif pula. Dan perbedaan-perbedaan
lain dari segi kekonsistenannya, penggunaan simbol, dan batasan semesta
pembicaraan. Perbedaan-perbedaan tersebut yang membedakan antara matematika dan
pendidikan matematika, yang sejatinya dari segi redaksi kata pun jelas nampak
berbeda.
Berikut
penjelasan mengenai karakteristik pendidikan matematika secara lebih rinci
menurut Soedjadi (2007).
1. Memiliki objek
kaijian yang konkret dan juga abstrak
Objek kajian matematika
sebagai ilmu seluruhnya abstrak. Sementara itu, dalam pendidikan matematika
objek kajiannya bukan hanya abstrak tetapi juga konkret. Tingkat keabstrakan
matematika harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Di
SD dimungkinkan untuk “mengkonkretkan” objek-objek matematika agar siswa lebih
memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan
objek semakin diperjelas.
2. Bertumpu pada
kesepakatan (termasuk penekanan pada aksioma selfevident truth)
Simbol-simbol dan
istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang
penting. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika maka
pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan.
Dalam matematika,
kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang
amat mendasar adalah aksioma (postulat, pernyataan pangkal yang tidak perlu
pembuktian) dan konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu
didefinisikan, undefined term). Aksioma yang diperlukan untuk konsep primitif
diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian (circulus in definiendo). Aksioma dapat
diklasifikasikan menjadi 2 jenis; (1) aksioma yang bersifat “self evident truth”, yaitu bila
kebenarannya langsung terlihat dari pernyataannya, dan (2) aksioma yang
bersifat “non-self evident truth”,
yaitu pernyataan yang mengaitkan fakta dan konsep lewat suatu relasi tertentu.
Bentuk terakhir ini lebih terlihat sebagai sebuah kesepakatan saja. Pada
pendidikan matematika kesepakatan lebih menekankan pada aksioma self evident
truth karena memang aksioma non-self evident truth belum diajarkan di sekolah.
3.
Dalam matematika hanya diterima pola pikir yang
bersifat deduktif.
Pola pikir deduktif secara
sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum
diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus. Sedangkan dalam
pendidikan matematika dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir
induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat
intelektual siswa. Sebagai kriteria umum, biasanya di SD menggunakan pendekatan
induktif lebih dulu karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap
pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif
sudah semakin ditekankan. Penyajian matematika tidak harus diawali dengan
teorema maupun definisi, tetapi haruslah disesuaikan dengan perkembangan
intelektual siswa.
4. Konsisten dalam
sistemnya (termasuk sistem yang dipilih untuk pendidikan)
Dalam pembelajaran
matematika konsistensi sangat diperlukan. Konsistensi juga diperlukan dalam hal
istilah atau nama objek dalam matematika yang digunakan. Tidak dibenarkan
adanya kontradiksi baik dalam sifat, konsep, dan teorema tertentu yang
digunakan.
5. Memiliki/menggunakan
simbol yang kosong dari arti dan juga yang telah mempunyai arti tertentu
Di dalam matematika banyak
sekali terdapat simbol baik yang berupa huruf Latin, huruf Yunani, maupun
simbol-simbol khusus lainnya. Simbol-simbol tersebut membentuk kalimat dalam
matematika yang biasanya disebut model matematika. Model matematika dapat
berupa persamaan, pertidaksamaan, maupun fungsi. Selain itu ada pula model
matematika yang berupa gambar (pictorial)
seperti bangun- bangun geometrik, grafik, maupun diagram.
6. Memperhatikan
semesta pembicaraan (bahkan juga digunakan untuk pembatasan bahan ajar
matematika, sesuai kelas tertentu)
Semesta pembicaraan bisa
sempit bisa pula luas. Bila kita berbicara tentang bilangan-bilangan, maka
simbol-simbol tersebut menunjukkan bilanganbilangan pula. Begitu pula bila kita
berbicara tentang transformasi geometris (seperti translasi, rotasi, dan
lain-lain) maka simbol-simbol matematikanya menunjukkan suatu transformasi
pula. Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaian suatu soal atau masalah, juga
ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan
Beradasarkan
uraian penjelasan mengenai karakteristik pendidikan matematika yang dikemukakan
oleh Soedjadi (2007) diatas, pada dasarnya perbedaan mendasar antara matematika
dan pendidikan matematika terletak pada kesesuaian dengan ruang dan waktunya.
Jika matematika terbentang luas dan digunakan secara umum, sedangkan pendidikan
matematika umumnya digunakan untuk keperluan pendidikan atau keperluan sekolah.
Sehingga penggunaanya disesuaikan dengan tingkatan perkembangan intelektual
siswa dan psikologi perkembangan anak atau peserta didik. Perkembangan
psikologi anak berbeda dengan orang dewasa, pada anak didik proses pemahaman
konsep memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui, berbeda dengan orang dewasa
yang tidak memerlukan tahapan-tahapan dalam pembentukan pemahaman dalam
pikirannya. Oleh sebeb itulah dibedakan antara matematika dan pendidikan
matematika untuk keperluan penyesuaian tingkat perkembangan intelektual siswa.
Berdasarkan
perbedaan antara karakteristik matematika dan karakteristik pendidikan matematika
di atas, matematika dan pendidikan matematika mempunyai potensi yang amat besar
untuk menumbuh kembangkan berbagai macam kemampuan dan karakter (kepribadian)
yang sangat berguna bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa.
B. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Seperti apa yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
pemerintah terus mengupayakan agar kualitas pendidikan nasional menjadi lebih
baik dan berkualitas. Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
juga dikatakan bahwa tujuan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan secara
tersurat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, pemerintah terus mengupayakan agar Pendidikan Nasional
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan mementuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003.
Sekolah adalah salah satu upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sekolah diajarkan berbagai macam mata
pelajaran yang berguna bagi kehidupan. Sebagai upaya mewujudkan tujuan
Pendidikan Nasional yang menginginkan rakyatnya untuk menjadi cerdas, hendaknya
pembelajaran yang diberikan disekolah bukan hanya pelajaran yang berorientasi
pada kuantitas. Tanpa disadari Ujian Nasional telah menjadi sebuah barometer
kesuksesan yang diidam-idamkan oleh sekolah dan masyarakat yang tentunya juga
orang tua. Seorang anak yang sukses dalam Ujian Nasional dianggap sebagai anak
yang pintar dan membanggakan. Namun, apakah pintar saja cukup? Nampaknya tidak.
Pintar hanya berorientasi pada kuantitas, anak yang mampu mencapai nilai 100 atau
mendekatainya dianggap sebagai anak yang pintar. Namun yang sesungguhnya
diinginkan oleh pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah
masyarakan yang cerdas. Sedangkan pintar dan cerdas tidak dapat dikatakan
sebagai dua buah kata yang bermakna sama.
Menurut KBBI cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk
berpikir, mengerti, dan sebagainya); tajam pikiran. Sedangkan pintar menurut
KBBI berarti pandai; cakap; mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Jelas
bahwa cerdas dan pintar adalah dua kata yang hampir mirip namun berbeda
konteks. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan cerdas adalah sesuatu yang
berhubungan dengan pikiran dan akal budi, sedangkan pintar hanya dikaitkan
dengan kecakapan dan kemahiran dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu. Pintar
hanya berorientasi pada ketepatan dan kesempurnaan tingkah laku, sedangkan
cerdas berorientasi kepada ketepatan dan kesempurnaan dalam berpikir. Anak yang
pintar saja belum tentu cerdas, sedangkan anak yang cerdas hampir seluruhnya
adalah pintar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pintar saja tidak cukup, pintar yang diiringi dengan kecerdasan akan
menjadi semibang. Karena terkadang orang pintar ada yang dibenci atau
bermasalah dengan lingkungannya, sedangkan orang cerdas akan menggunakan akal
budinya untuk bersahabat dengan masyarakan dan menggunakan kepintarannya untuk
kemaslahatan sesama.
Sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, hendaknya apa yang
diajarkan di sekolah tidak hanya seputar bagaimana menjadi pintar dan bagaimana
mendapat nilai yang tinggi dalam Ujian nasional. Poin pentingnya adalah
bagaimana mengembangkan potensi anak/ siswa agar kelak menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Karakter peserta
didik yang harus dimunculkan dalam pendidikan di sekolah adalah cerdas. Karena itu
usaha pendidikan pengajaran tidak hanya sekedar membuat anak didik pintar,
tetapi mendidik anak menjadi cerdas.
Sebagaimana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menginkan agar siswa
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab maka perlunya sebuah pendidikan nilai yang mampu
menuntun siswa mencapai akhlak yang mulia tersebut. Pendidikan nilai tersebut,
menurut Jaeng (2016) mulai dicanangkan kembali sejak tahun 2011 dengan nama
pendidikan karakter.
Pengertian karakter menurut ahli pendidikan karakter Thomas Lickona, one of the leaders in the field of character
education posits that good character involves the ability to apply moral
princples such as honesty, fairness, respect, and responsibility when choosing
right from wrong (Lickona, 1991). Salah satu Para pemimpin di bidang
pendidikan karakter berpendapat bahwa karakter yang baik melibatkan kemampuan
untuk terapkan prinsip moral seperti kejujuran, keadilan, rasa hormat, dan
tanggung jawab saat memilih benar dan salah.
Adapun Kemendiknas (2010) mendefinisikan pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanaman
nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Kemendiknas (2010)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi
di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitas
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian
nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua
mata pelajaran.
Berdasarkan uraian para ahli
di atas, pendidikan karakter adalah upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dirinya sendiri, sesama manusia,
lingkungan dan bangsa yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat serta melibatkan kemampuan untuk menerapkan prinsip moral seperti
kejujuran, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab saat memilih benar dan
salah. Dalam pembelajaran di sekolah pendidikan karakter dilakukan dengan pengenalan
nilai-nilai, fasilitas diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan
penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari
melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas
pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter tidak tersurat secara langsung
diwujudkan dalam bentuk sebuah mata pelajaran khusus, namun diharapkan
kehadirannya senantiasa terwujud pada setiap mata pelajaran yang di ajarkan
disekolah.
Pendidikan karakter dilaksanakan
secara sistematis dengan menanamkan nilai-nilai yang akan menuju sebuah proses
pembudayaan, pemanusiaan, dan pendewasaan insan. Pendidikan karakter akan
mengantarkan warga dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insan-insan yang
tidak hanya pintar namun juga cerdas dan beradab, dengan tetap berpegang teguh
pada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan. Oleh
karenanya pendidikan karakter adalah sesuatu yang amat penting yang merupakan
tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya, yaitu masyarakat yang cerdas dan
berakhlak mulia.
Mengingat betapa pentingnya
implementasi pendidikan karakter disekolah, apakah yang terjadi disekolah implementasinya
telah sesuai dengan tujuan mulia yang dikemukakan oleh Pembukaan Undang-Undang
Dasar dan Undang-undang No. 20 Tahun 2003? Mengenai jawaban atas pertanyaan
tersebut telah dikemukakan oleh Jaeng (2016) yang mengatakan bahwa “Pembangunan akhlak manusia yang lama ditinggalkan
dengan tidak ada lagi pendidikan budi pekerti di sekolah dalam arti sebagai
satu mata pelajaran tersendiri,atau pada mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti,
seperti yang ada pada kurikulum masa lalu, sampai dengan munculnya kurikulum
1975 dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Tetapi bukan
berarti pendidikan budi pekerti hilang. Pendidikan budi pekerti terarah kepada
pendidikan nilai yang secara inplisit dilakukan oleh para pendidik dalam dunia
pendidikan (sebagai guru, dosen, tenaga kependidikan pada umumnya, bahkan masyarakat,
temasuk orang tua), melaui pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pendidikan
nilai yang dilaksanakan melalui pendidikan Agama dan PMP, ternyata belum
memmenuhi harapan bangsa yang mendidik anak-anak cerdas. Prosess pendidkan di Sekolah
lebih mengarahkan peserta didik menjadi anak-anak pintar kerena memahami banyak
ilmu pengetahuan”.
Fenomena yang kerap terjadi
di sekolah turut menguatkan pernyataan yang dikemukakan oleh Jaeng (2016)
diatas. Terkadang mengajarkan materi yang harus dikuasai siswa dalam memenuhi
tuntutan Ujian Nasional saja, para guru kerap kali mengaku bahwa alokasi waktu
yang ada tidak mampu memenuhi tuntutan Ujian Nasional tersebut. Akibatnya,
menjelang detik-detik Ujian Nasional guru mengajarkan cara-cara instan dalam
menjadi suatu soal. Seakan tujuan dari sekolah hanyalah sebatas kuantitas nilai
yang tertera dalam raport. Esensi dari pendidikan yang sesungguhnya adalah
bagaimana agar anak yang memperoleh pendidikan mampu menjadi pribadi yang
cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat menjadikan sebuah pembeda antara anak
yang bersekolah dan tidak bersekolah.
Kemendiknas telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkankan
dalam diri peserta didik sebagai upaya dalam membangun karakter bangsa.
Karakter yang dimunculkan dalam proses pendidikan formal di Sekolah memuat 18
nilai karakter dirumuskan oleh Kememendiknas yang mengarah kepada pembentukan
anak-anak yang cerdas. Proses pendidikan dan pembelajaran ilmu pengetahuan
harus membuat anak cerdas, bukan hanya sekedar pintar. Kedelapanbelas nilai
karakter versi Kemendiknas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Religius,
yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama
(aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.
Jujur,
yakni sikap dan prilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan,
perkataan, dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar, dan
melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai
pribadi yang dapat dipercaya.
3.
Toleransi,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan
agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal
lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang
di tengah perbedaan tersebut.
4.
Disiplin,
yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan
atau tata tertib yang berlaku.
5.
Kerja
keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang
hingga titik titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan,
pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasilhasil
baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7. Mandiri,
yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh kerja
sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung
jawab kepada orang lain.
8. Demokratis,
yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban
secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9. Rasa
ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran
dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari
secara lebih mendalam.
10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan
tindakan yang menempatkan kepentingan bangsadan negara di atas kepentingan
pribadi atau individu dan golongan.
11. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang
mencerminkan rasa bangsa, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, budaya, ekonomi,politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran
bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap
prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi
semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni
sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun
sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik.
14. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang
mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya
dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan
untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik
buku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya, sehingga menimbukan kebijakan bagi
dirinya.
16. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang
selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17. Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang
mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18. Tanggung jawab, yakni sikap dan prilaku seseorang
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri
sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.
Kedelapanbelas nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan oleh pemerintah
tersebut diatas, jika diterapkan, ditanamkan, dicontohkan dan diajarkan dengan
baik bukan tidak mungkin tujuan mulia bangsa untuk mencerdaskan masyarakatnya
melalui pendidikan karakter akan terwujud.
Nilai pertama yang dirumuskan oleh pemerintah sebagai upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pendidikan karakter adalah Religius. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran
agama (aliran kepercayaan) yang dianutnya merupakan sebuah dasar atau pondamen
penting yang akan membentuk sebuah karakter seseorang. Walau nyatanya ada
banyak agama yang diakui keberadaannya di Indonesia, hal tersebut harusnya
menjadi pacuan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas dan berakhlak
mulia. Karena jika seseorang menyakini, mengimani, dan menghargai agama yang
dianutnya maka ia tentu juga akan menghargai agama berbeda yang dianut oleh
orang lain hingga terwujudlah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
Jika agama merupakan pondamen penting penentu karakter seorang anak,
maka hal tersebut juga harus diajarkan sedini mungkin oleh keluarga kepada
anak-anak. Terlepas dari tujuan mulia pemerintah dalam usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pendidikan karakter, kenyataannya adalah siswa berada
disekolah hanyalah berkisar antara 6-8 jam per hari. Pendidikan karakter atau
membentuk sebuah karakter yang cerdas dan berakhlak mulia bukan semata-mata
tugas yang hanya diemban oleh sekolah saja. Peran keluarga dan masyarakan juga
amatlah penting mengingat anak lebih banyak bersama dengan keluarga dan
masyarakat ketimbang dengan sekolah yang hanya sepertiga waktu hariannya.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang di ajarkan
disekolah. Sebagaimana kurikulum saat ini yang menuntut setiap mata pelajaran
untuk menanamkan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia kepada siswanya. Khusus
dalam pembelajaran matematika Kemendikbud (2010) mencontohkan ada 5 karater
utama yang dapat diitegrasikan dalam pembelajaran matematika yaitu berpikir logis,
kritis, kreatif, dan inovatif, kerja keras, keingintahuan, kemandirian, percaya
diri.
Berdasarkan
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi mata Pelajaran Matematika
yang didalamnya terdapat 5 (lima) tujuan mata pelajaran matematika maka ada
beberapa nilai pendidkan karakter yang dapat dikembangkan melalui pendidkan
matematika dalam pembelajaran matematika yang juga mencakup karakteristik
matematika diantaranya, yaitu sebagai berikut.
1.
Disiplin
Karakter disiplin dapat terbentuk dalam
pempelajaran matematika, karena dalam matematika peserta didik diharapkan mampu
mengenali suatu keteraturan pola, memahami aturan-aturan dan konsep-konsep yang
telah disepakati. Nilai karakter yang diharapkan dalam belajar matematika
adalah seseorang diharapkan mampu bekerja secara teratur dan tertib dalam
menggunakan aturan-aturan dan konsep-konsep. Konsep-konsep Matematika tidak
tidak boleh dilanggar karena dapat menimbulkan salah arti.
2.
Jujur
Matematika tidak menerima generalisasi
berdasarkan pengamatan (induktif) walaupun pada tahap-tahap awal
contoh-contoh khusus dan ilustrasi geometris diperlukan, tetapi untuk
generalisasi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Karakter yang dapat membentuk
jiwa seseorang, bahwa seseorang tidak akan mudah percaya pada isu-isu yang tidak
jelas sebelum ada pembuktian. Kepribadian yang terbentuk diharapkan adalah sesorang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaannya, karena selalu
dapat menunjukkan pembuktian dari setiap perkataan dan tindakannya. Konsep matematika
abstrak yang disusun secara aksiomatik deduktif.
3.
Kerja Keras
Karakter yang ingin dibentuk adalah
tidak mudah putus asa. Belajar matematika, seseorang harus teliti, tekun dan
telaten, dalam memahami yang tersirat dan tersurat. Ada kalanya seseorang
keliru dalam pengerjaan suatu perhitungan, namun belum mencapai hasil yang
benar, maka seseorang diharapkan dapat dengan sabar melihat kembali (looking
back) apa yang telah dikerjakan secara runut dengan teliti, tidak mudah
menyerah terus berjuang untuk
menghasilkan suatu jawaban yang benar. Konsep matematika mengajarkan ketelitian
berdasarkan kesepakatan yang diakui benar yang rasional deduktif.
4.
Kreatif
Seseorang
yang belajar matematika akan terbiasa untuk kreatif dalam menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya. Dalam menyelesaikan persoalan ada yang dapat menyelesaikan
dengan cara yang panjang, namun ada pula yang mampu mengerjakan dengan singkat.
Bila seseorang terbiasa menyelesaikan permasalahan matematika, maka orang
tersebut akan terbiasa memunculkan ide yang kreatif yang dapat membantunya menjalani
kehidupan secara lebih efektif dan efisien.
5.
Rasa
ingin tahu
Memunculkan
rasa ingin tahu dalam matematika akan mengakibatkan seseorang terus belajar
dalam sepanjang hidupnya, terus berupaya menggali informasi-informasi terkait lingkungan
di sekitarnya, sehingga menjadikannya kaya akan wawasan dan ilmu pengetahuan.
Rasa ingin tahu membuat seseorang mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan
analogi, sehingga diharapkan mampu menjadi a good problems solver (mampu menyelesaikan
masalah dengan baik). Matematika yang dipelajari memiliki banyak analogi sebagai
pengetaahuan rasional melatih peserta didik untuk mengetahui sesuatu gejala
alam yang mirip dengan pemikiran yang rasional (masuk akal).
6.
Mandiri
Dalam
pelajaran matematika kita senantiasa menghadapi tantangan, berbagai permasalahan
yang menuntut kita untuk menemukan solusi atau penyelesaiannya. Untuk itu peserta
didik harus mampu memiliki sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain, namun
berupaya secara mandiri untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi dengan baik.
Matematika yang memiliki objek abstrak yang berkembang untuk menghadapi tantangan
perkembangan ilmu pengetahuan lain.
7.
Tanggung
Jawab
Kebiasaan
disiplin dalam bernalar yang terbentuk dalam mempelajari matematika melahirkan
suatu sikap tanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban yang seharusnya dilakukan,
baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, negara dan Tuhan Yang Maha
Esa. Matematika dipelajari secara khusus untuk kepentingan pengembangan matetematika,
juga bertangung jawab untuk menunjang pengembangan pengetahuan lain.
Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya setiap
nilai yang diajarkan dalam pembelajaran matematika merupakan sebuah potensi
untuk membantu siswa membentuk karakternya yang cerdas dan berakhlak mulia.
Nilai-nilai karakter tersebut memang tidak secara tersurat terpampang jelas,
namun melalui kegiatan matematika yang dilakukan siswa hendaknya guru
mengingatkan akan nilai-nilai karakter yang tersembunyi tersebut kepada siswa,
hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya kehadiran seorang guru atau orang
dewasa yang akan membantu anak untuk membentuk karakter cerdas dan berakhlak
mulianya. Menanamkan nilai-nilai karakter tersebut melalui pembelajaran
matematika merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik matematika untuk
mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut. Pendidik harus dapat menciptakan
suasana belajar yang mendukung terlaksananya pendidikan karakter, salah satunya
adalah dengan pembelajaran peserta didik aktif. Melalui pembelajaran peserta
didik yang aktif diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai karakter siswa seperti
disiplin, tanggungjawab, rasa ingin tahu, kreatif dan lain-lain. Penanaman
karakter ini dilakukan secara terus menerus sehingga diharapkan menjadi suatu
kebiasaan yang membudaya dan menghasilkan masyarakan indonesia yang cerdas dan
berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Jaeng, M. (2016). Pendidikan
Karakter Melalui Pendidikan matematika. AKSIOMA: Jurnal Pendidikan
Matematika, Vol 5, No. 3.
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Kemendisnas, Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Direktorat PSMP. Jakarta: 2010
Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
Permendiknas
nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi mata Pelajaran Matematika
Komentar
Posting Komentar