FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Oleh
Eka Puspita Sari & Marsigit


A.       KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MATEMATIKA
Karakteristik adalah kualitas tertentu atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakteristik berarti mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik adalah sebuah ciri khas pembeda antara yang satu dengan lainnya. Dengan memiliki karakteristik, sesuatu dapat didefinisikan dan dibedakan berdasarkan apa yang ada dalam dirinya yang sebenarnya.
Karakteristik pendidikan matematika berarti ciri khas dari pendidikan matematika. Berbicara mengenai pendidikan matematika, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari matematika itu sendiri. Demikian pula pada saat berbicara mengenai karakteristik pendidikan matematika, juga tidak dapat dilepaskan dari karakteristik matematika. Perbedaan karakteristik matematika dan pendidikan matematika menurut Soedjadi (2007) adalah sebagai berikut.

No
Karakteristik Matematika
Karakteristik Pendidikan Matematika
1
Memiliki objek kajian yang abstrak (hanya ada di dalam pikiran)
Memiliki objek kajian yang konkret dan
juga abstrak
2
Bertumpu pada kesepakatan (lebih
bertumpu pada aksioma formal)
Bertumpu pada kesepakatan (termasuk
penekanan pada aksioma selfevident truth)
3
Berpola pikir deduktif Berpola pikir
Berpola pikir deduktif dan juga induktif
4
Konsisten dalam sistemnya
Konsisten dalam sistemnya (termasuk
sistem yang dipilih untuk pendidikan)
5
Memiliki/menggunakan simbol yang
kosong dari arti
Memiliki/menggunakan simbol yang
kosong dari arti dan juga yang telah
mempunyai arti tertentu
6
Memperhatikan semesta pembicaraan
Memperhatikan semesta pembicaraan
(bahkan juga digunakan untuk pembatasan
bahan ajar matematika, sesuai kelas
tertentu)

Dari tabel tersebut bahwa perbedaan antara karakteristik matematika dan pendidikan matematika terletak pada objek kajiannya, jika objek kajian dari matematika hanyalah yang abstrak sedangkan objek kajian pendidikan matematika adalah abstrak dan kongkrit. Objek kajian pendidikan matematika abstrak dan kongkrit disesuaikan dengan tingkatan pendidikan, pada matematika sekolah objek kajiannya adalah kongkrit sedangkan pada matematika perguruan tinggi objek kajiannya berubah menjadi lebih abstrak. Dari segi tumpuan kesepakatan juga memiliki perbedaan, jika matematika bertumpu pada aksioma formal, pendidikan matematika bertumpu pada penekanan pada aksioma selfevident truth. Dari segi pola pikir antara matematika dengan pendidikan matematika juga berbeda, jika matematika berpola pikir induktif, pendidikan matematika lebih berpola berpikir deduktif serta induktif pula. Dan perbedaan-perbedaan lain dari segi kekonsistenannya, penggunaan simbol, dan batasan semesta pembicaraan. Perbedaan-perbedaan tersebut yang membedakan antara matematika dan pendidikan matematika, yang sejatinya dari segi redaksi kata pun jelas nampak berbeda.
Berikut penjelasan mengenai karakteristik pendidikan matematika secara lebih rinci menurut Soedjadi (2007).
1.      Memiliki objek kaijian yang konkret dan juga abstrak
Objek kajian matematika sebagai ilmu seluruhnya abstrak. Sementara itu, dalam pendidikan matematika objek kajiannya bukan hanya abstrak tetapi juga konkret. Tingkat keabstrakan matematika harus menyesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Di SD dimungkinkan untuk “mengkonkretkan” objek-objek matematika agar siswa lebih memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan objek semakin diperjelas.
2.      Bertumpu pada kesepakatan (termasuk penekanan pada aksioma selfevident truth)
Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika maka pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dilakukan dan dikomunikasikan.
Dalam matematika, kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma (postulat, pernyataan pangkal yang tidak perlu pembuktian) dan konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan, undefined term). Aksioma yang diperlukan untuk konsep primitif diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian (circulus in definiendo). Aksioma dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis; (1) aksioma yang bersifat “self evident truth”, yaitu bila kebenarannya langsung terlihat dari pernyataannya, dan (2) aksioma yang bersifat “non-self evident truth”, yaitu pernyataan yang mengaitkan fakta dan konsep lewat suatu relasi tertentu. Bentuk terakhir ini lebih terlihat sebagai sebuah kesepakatan saja. Pada pendidikan matematika kesepakatan lebih menekankan pada aksioma self evident truth karena memang aksioma non-self evident truth belum diajarkan di sekolah.
3.       Dalam matematika hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif.
Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus. Sedangkan dalam pendidikan matematika dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual siswa. Sebagai kriteria umum, biasanya di SD menggunakan pendekatan induktif lebih dulu karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif sudah semakin ditekankan. Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi, tetapi haruslah disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa.
4.      Konsisten dalam sistemnya (termasuk sistem yang dipilih untuk pendidikan)
Dalam pembelajaran matematika konsistensi sangat diperlukan. Konsistensi juga diperlukan dalam hal istilah atau nama objek dalam matematika yang digunakan. Tidak dibenarkan adanya kontradiksi baik dalam sifat, konsep, dan teorema tertentu yang digunakan.
5.      Memiliki/menggunakan simbol yang kosong dari arti dan juga yang telah mempunyai arti tertentu
Di dalam matematika banyak sekali terdapat simbol baik yang berupa huruf Latin, huruf Yunani, maupun simbol-simbol khusus lainnya. Simbol-simbol tersebut membentuk kalimat dalam matematika yang biasanya disebut model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, maupun fungsi. Selain itu ada pula model matematika yang berupa gambar (pictorial) seperti bangun- bangun geometrik, grafik, maupun diagram.
6.      Memperhatikan semesta pembicaraan (bahkan juga digunakan untuk pembatasan bahan ajar matematika, sesuai kelas tertentu)
Semesta pembicaraan bisa sempit bisa pula luas. Bila kita berbicara tentang bilangan-bilangan, maka simbol-simbol tersebut menunjukkan bilanganbilangan pula. Begitu pula bila kita berbicara tentang transformasi geometris (seperti translasi, rotasi, dan lain-lain) maka simbol-simbol matematikanya menunjukkan suatu transformasi pula. Benar salahnya atau ada tidaknya penyelesaian suatu soal atau masalah, juga ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan
Beradasarkan uraian penjelasan mengenai karakteristik pendidikan matematika yang dikemukakan oleh Soedjadi (2007) diatas, pada dasarnya perbedaan mendasar antara matematika dan pendidikan matematika terletak pada kesesuaian dengan ruang dan waktunya. Jika matematika terbentang luas dan digunakan secara umum, sedangkan pendidikan matematika umumnya digunakan untuk keperluan pendidikan atau keperluan sekolah. Sehingga penggunaanya disesuaikan dengan tingkatan perkembangan intelektual siswa dan psikologi perkembangan anak atau peserta didik. Perkembangan psikologi anak berbeda dengan orang dewasa, pada anak didik proses pemahaman konsep memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui, berbeda dengan orang dewasa yang tidak memerlukan tahapan-tahapan dalam pembentukan pemahaman dalam pikirannya. Oleh sebeb itulah dibedakan antara matematika dan pendidikan matematika untuk keperluan penyesuaian tingkat perkembangan intelektual siswa.
Berdasarkan perbedaan antara karakteristik matematika dan karakteristik pendidikan matematika di atas, matematika dan pendidikan matematika mempunyai potensi yang amat besar untuk menumbuh kembangkan berbagai macam kemampuan dan karakter (kepribadian) yang sangat berguna bagi siswa sebagai generasi penerus bangsa.

B.       PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Seperti apa yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah terus mengupayakan agar kualitas pendidikan nasional menjadi lebih baik dan berkualitas. Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, juga dikatakan bahwa tujuan bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan secara tersurat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah terus mengupayakan agar Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan mementuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003.
Sekolah adalah salah satu upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sekolah diajarkan berbagai macam mata pelajaran yang berguna bagi kehidupan. Sebagai upaya mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional yang menginginkan rakyatnya untuk menjadi cerdas, hendaknya pembelajaran yang diberikan disekolah bukan hanya pelajaran yang berorientasi pada kuantitas. Tanpa disadari Ujian Nasional telah menjadi sebuah barometer kesuksesan yang diidam-idamkan oleh sekolah dan masyarakat yang tentunya juga orang tua. Seorang anak yang sukses dalam Ujian Nasional dianggap sebagai anak yang pintar dan membanggakan. Namun, apakah pintar saja cukup? Nampaknya tidak. Pintar hanya berorientasi pada kuantitas, anak yang mampu mencapai nilai 100 atau mendekatainya dianggap sebagai anak yang pintar. Namun yang sesungguhnya diinginkan oleh pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah masyarakan yang cerdas. Sedangkan pintar dan cerdas tidak dapat dikatakan sebagai dua buah kata yang bermakna sama.
Menurut KBBI cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya); tajam pikiran. Sedangkan pintar menurut KBBI berarti pandai; cakap; mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Jelas bahwa cerdas dan pintar adalah dua kata yang hampir mirip namun berbeda konteks. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan cerdas adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran dan akal budi, sedangkan pintar hanya dikaitkan dengan kecakapan dan kemahiran dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu. Pintar hanya berorientasi pada ketepatan dan kesempurnaan tingkah laku, sedangkan cerdas berorientasi kepada ketepatan dan kesempurnaan dalam berpikir. Anak yang pintar saja belum tentu cerdas, sedangkan anak yang cerdas hampir seluruhnya adalah pintar.  Hal tersebut menunjukkan bahwa pintar saja tidak cukup, pintar yang diiringi dengan kecerdasan akan menjadi semibang. Karena terkadang orang pintar ada yang dibenci atau bermasalah dengan lingkungannya, sedangkan orang cerdas akan menggunakan akal budinya untuk bersahabat dengan masyarakan dan menggunakan kepintarannya untuk kemaslahatan sesama.
Sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, hendaknya apa yang diajarkan di sekolah tidak hanya seputar bagaimana menjadi pintar dan bagaimana mendapat nilai yang tinggi dalam Ujian nasional. Poin pentingnya adalah bagaimana mengembangkan potensi anak/ siswa agar kelak menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Karakter peserta didik yang harus dimunculkan dalam pendidikan di sekolah adalah cerdas. Karena itu usaha pendidikan pengajaran tidak hanya sekedar membuat anak didik pintar, tetapi mendidik anak menjadi cerdas.
Sebagaimana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menginkan agar siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab maka perlunya sebuah pendidikan nilai yang mampu menuntun siswa mencapai akhlak yang mulia tersebut. Pendidikan nilai tersebut, menurut Jaeng (2016) mulai dicanangkan kembali sejak tahun 2011 dengan nama pendidikan karakter.
Pengertian karakter menurut ahli pendidikan karakter Thomas Lickona, one of the leaders in the field of character education posits that good character involves the ability to apply moral princples such as honesty, fairness, respect, and responsibility when choosing right from wrong (Lickona, 1991). Salah satu Para pemimpin di bidang pendidikan karakter berpendapat bahwa karakter yang baik melibatkan kemampuan untuk terapkan prinsip moral seperti kejujuran, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab saat memilih benar dan salah.
Adapun Kemendiknas (2010) mendefinisikan pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanaman nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Kemendiknas (2010) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitas diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.
Berdasarkan uraian para ahli di atas, pendidikan karakter adalah upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dirinya sendiri, sesama manusia, lingkungan dan bangsa yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat serta melibatkan kemampuan untuk menerapkan prinsip moral seperti kejujuran, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab saat memilih benar dan salah. Dalam pembelajaran di sekolah pendidikan karakter dilakukan dengan pengenalan nilai-nilai, fasilitas diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter tidak tersurat secara langsung diwujudkan dalam bentuk sebuah mata pelajaran khusus, namun diharapkan kehadirannya senantiasa terwujud pada setiap mata pelajaran yang di ajarkan disekolah.
Pendidikan karakter dilaksanakan secara sistematis dengan menanamkan nilai-nilai yang akan menuju sebuah proses pembudayaan, pemanusiaan, dan pendewasaan insan. Pendidikan karakter akan mengantarkan warga dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insan-insan yang tidak hanya pintar namun juga cerdas dan beradab, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan. Oleh karenanya pendidikan karakter adalah sesuatu yang amat penting yang merupakan tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya, yaitu masyarakat yang cerdas dan berakhlak mulia.
Mengingat betapa pentingnya implementasi pendidikan karakter disekolah, apakah yang terjadi disekolah implementasinya telah sesuai dengan tujuan mulia yang dikemukakan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Undang-undang No. 20 Tahun 2003? Mengenai jawaban atas pertanyaan tersebut telah dikemukakan oleh Jaeng (2016) yang mengatakan bahwa Pembangunan akhlak manusia yang lama ditinggalkan dengan tidak ada lagi pendidikan budi pekerti di sekolah dalam arti sebagai satu mata pelajaran tersendiri,atau pada mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti, seperti yang ada pada kurikulum masa lalu, sampai dengan munculnya kurikulum 1975 dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Tetapi bukan berarti pendidikan budi pekerti hilang. Pendidikan budi pekerti terarah kepada pendidikan nilai yang secara inplisit dilakukan oleh para pendidik dalam dunia pendidikan (sebagai guru, dosen, tenaga kependidikan pada umumnya, bahkan masyarakat, temasuk orang tua), melaui pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pendidikan nilai yang dilaksanakan melalui pendidikan Agama dan PMP, ternyata belum memmenuhi harapan bangsa yang mendidik anak-anak cerdas. Prosess pendidkan di Sekolah lebih mengarahkan peserta didik menjadi anak-anak pintar kerena memahami banyak ilmu pengetahuan”.
Fenomena yang kerap terjadi di sekolah turut menguatkan pernyataan yang dikemukakan oleh Jaeng (2016) diatas. Terkadang mengajarkan materi yang harus dikuasai siswa dalam memenuhi tuntutan Ujian Nasional saja, para guru kerap kali mengaku bahwa alokasi waktu yang ada tidak mampu memenuhi tuntutan Ujian Nasional tersebut. Akibatnya, menjelang detik-detik Ujian Nasional guru mengajarkan cara-cara instan dalam menjadi suatu soal. Seakan tujuan dari sekolah hanyalah sebatas kuantitas nilai yang tertera dalam raport. Esensi dari pendidikan yang sesungguhnya adalah bagaimana agar anak yang memperoleh pendidikan mampu menjadi pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia, yang dapat menjadikan sebuah pembeda antara anak yang bersekolah dan tidak bersekolah.   
Kemendiknas telah merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkankan dalam diri peserta didik sebagai upaya dalam membangun karakter bangsa. Karakter yang dimunculkan dalam proses pendidikan formal di Sekolah memuat 18 nilai karakter dirumuskan oleh Kememendiknas yang mengarah kepada pembentukan anak-anak yang cerdas. Proses pendidikan dan pembelajaran ilmu pengetahuan harus membuat anak cerdas, bukan hanya sekedar pintar. Kedelapanbelas nilai karakter versi Kemendiknas tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
2.      Jujur, yakni sikap dan prilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
3.      Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.      Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
5.      Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.  Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasilhasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7.    Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti tidak boleh kerja sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan tanggung jawab kepada orang lain.
8.   Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.   Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam.
10. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsadan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
11.  Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangsa, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi,politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa sendiri.
12.  Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih tinggi.
13.  Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik.
14.  Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.  Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya, sehingga menimbukan kebijakan bagi dirinya.
16.  Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
17.  Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkannya.
18. Tanggung jawab, yakni sikap dan prilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.

Kedelapanbelas nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan oleh pemerintah tersebut diatas, jika diterapkan, ditanamkan, dicontohkan dan diajarkan dengan baik bukan tidak mungkin tujuan mulia bangsa untuk mencerdaskan masyarakatnya melalui pendidikan karakter akan terwujud.  Nilai pertama yang dirumuskan oleh pemerintah sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan karakter adalah Religius. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianutnya merupakan sebuah dasar atau pondamen penting yang akan membentuk sebuah karakter seseorang. Walau nyatanya ada banyak agama yang diakui keberadaannya di Indonesia, hal tersebut harusnya menjadi pacuan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia. Karena jika seseorang menyakini, mengimani, dan menghargai agama yang dianutnya maka ia tentu juga akan menghargai agama berbeda yang dianut oleh orang lain hingga terwujudlah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dan berdampingan.
Jika agama merupakan pondamen penting penentu karakter seorang anak, maka hal tersebut juga harus diajarkan sedini mungkin oleh keluarga kepada anak-anak. Terlepas dari tujuan mulia pemerintah dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan karakter, kenyataannya adalah siswa berada disekolah hanyalah berkisar antara 6-8 jam per hari. Pendidikan karakter atau membentuk sebuah karakter yang cerdas dan berakhlak mulia bukan semata-mata tugas yang hanya diemban oleh sekolah saja. Peran keluarga dan masyarakan juga amatlah penting mengingat anak lebih banyak bersama dengan keluarga dan masyarakat ketimbang dengan sekolah yang hanya sepertiga waktu hariannya.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang di ajarkan disekolah. Sebagaimana kurikulum saat ini yang menuntut setiap mata pelajaran untuk menanamkan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia kepada siswanya. Khusus dalam pembelajaran matematika Kemendikbud (2010) mencontohkan ada 5 karater utama yang dapat diitegrasikan dalam pembelajaran matematika yaitu berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, kerja keras, keingintahuan, kemandirian, percaya diri.
Berdasarkan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi mata Pelajaran Matematika yang didalamnya terdapat 5 (lima) tujuan mata pelajaran matematika maka ada beberapa nilai pendidkan karakter yang dapat dikembangkan melalui pendidkan matematika dalam pembelajaran matematika yang juga mencakup karakteristik matematika diantaranya, yaitu sebagai berikut.
1.        Disiplin
Karakter disiplin dapat terbentuk dalam pempelajaran matematika, karena dalam matematika peserta didik diharapkan mampu mengenali suatu keteraturan pola, memahami aturan-aturan dan konsep-konsep yang telah disepakati. Nilai karakter yang diharapkan dalam belajar matematika adalah seseorang diharapkan mampu bekerja secara teratur dan tertib dalam menggunakan aturan-aturan dan konsep-konsep. Konsep-konsep Matematika tidak tidak boleh dilanggar karena dapat menimbulkan salah arti.
2.        Jujur
Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif) walaupun pada tahap-tahap awal contoh-contoh khusus dan ilustrasi geometris diperlukan, tetapi untuk generalisasi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Karakter yang dapat membentuk jiwa seseorang, bahwa seseorang tidak akan mudah percaya pada isu-isu yang tidak jelas sebelum ada pembuktian. Kepribadian yang terbentuk diharapkan adalah sesorang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaannya, karena selalu dapat menunjukkan pembuktian dari setiap perkataan dan tindakannya. Konsep matematika abstrak yang disusun secara aksiomatik deduktif.
3.        Kerja Keras
Karakter yang ingin dibentuk adalah tidak mudah putus asa. Belajar matematika, seseorang harus teliti, tekun dan telaten, dalam memahami yang tersirat dan tersurat. Ada kalanya seseorang keliru dalam pengerjaan suatu perhitungan, namun belum mencapai hasil yang benar, maka seseorang diharapkan dapat dengan sabar melihat kembali (looking back) apa yang telah dikerjakan secara runut dengan teliti, tidak mudah menyerah terus berjuang untuk menghasilkan suatu jawaban yang benar. Konsep matematika mengajarkan ketelitian berdasarkan kesepakatan yang diakui benar yang rasional deduktif.
4.        Kreatif
Seseorang yang belajar matematika akan terbiasa untuk kreatif dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Dalam menyelesaikan persoalan ada yang dapat menyelesaikan dengan cara yang panjang, namun ada pula yang mampu mengerjakan dengan singkat. Bila seseorang terbiasa menyelesaikan permasalahan matematika, maka orang tersebut akan terbiasa memunculkan ide yang kreatif yang dapat membantunya menjalani kehidupan secara lebih efektif dan efisien.
5.        Rasa ingin tahu
Memunculkan rasa ingin tahu dalam matematika akan mengakibatkan seseorang terus belajar dalam sepanjang hidupnya, terus berupaya menggali informasi-informasi terkait lingkungan di sekitarnya, sehingga menjadikannya kaya akan wawasan dan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu membuat seseorang mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi, sehingga diharapkan mampu menjadi a good problems solver (mampu menyelesaikan masalah dengan baik). Matematika yang dipelajari memiliki banyak analogi sebagai pengetaahuan rasional melatih peserta didik untuk mengetahui sesuatu gejala alam yang mirip dengan pemikiran yang rasional (masuk akal).
6.        Mandiri
Dalam pelajaran matematika kita senantiasa menghadapi tantangan, berbagai permasalahan yang menuntut kita untuk menemukan solusi atau penyelesaiannya. Untuk itu peserta didik harus mampu memiliki sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain, namun berupaya secara mandiri untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi dengan baik. Matematika yang memiliki objek abstrak yang berkembang untuk menghadapi tantangan perkembangan ilmu pengetahuan lain.
7.        Tanggung Jawab
Kebiasaan disiplin dalam bernalar yang terbentuk dalam mempelajari matematika melahirkan suatu sikap tanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban yang seharusnya dilakukan, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Matematika dipelajari secara khusus untuk kepentingan pengembangan matetematika, juga bertangung jawab untuk menunjang pengembangan pengetahuan lain.

Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya setiap nilai yang diajarkan dalam pembelajaran matematika merupakan sebuah potensi untuk membantu siswa membentuk karakternya yang cerdas dan berakhlak mulia. Nilai-nilai karakter tersebut memang tidak secara tersurat terpampang jelas, namun melalui kegiatan matematika yang dilakukan siswa hendaknya guru mengingatkan akan nilai-nilai karakter yang tersembunyi tersebut kepada siswa, hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya kehadiran seorang guru atau orang dewasa yang akan membantu anak untuk membentuk karakter cerdas dan berakhlak mulianya. Menanamkan nilai-nilai karakter tersebut melalui pembelajaran matematika merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik matematika untuk mengembangkan nilai-nilai karakter tersebut. Pendidik harus dapat menciptakan suasana belajar yang mendukung terlaksananya pendidikan karakter, salah satunya adalah dengan pembelajaran peserta didik aktif. Melalui pembelajaran peserta didik yang aktif diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai karakter siswa seperti disiplin, tanggungjawab, rasa ingin tahu, kreatif dan lain-lain. Penanaman karakter ini dilakukan secara terus menerus sehingga diharapkan menjadi suatu kebiasaan yang membudaya dan menghasilkan masyarakan indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia.

DAFTAR PUSTAKA

Jaeng, M. (2016). Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan matematika. AKSIOMA: Jurnal Pendidikan Matematika, Vol 5, No. 3.

Soedjadi. (2007). Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. (Seri Pembelajaran Matematika Realistik untuk Guru dan Orang Tua Murid). Universitas Negeri Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah

Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Kemendisnas, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat PSMP. Jakarta: 2010

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional

Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi mata Pelajaran Matematika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IDEOLOGY OF EDUCATION

Filsafat? Pengingat.